Oleh Istiqamatunnisak
Hikayat Teungku di Meukek adalah sebuah teks sastra Aceh yang menukilkan berbagai peristiwa sejarah dan penuh pesan sosial dan politik. Tulisan ini menjelaskan tentang pengaruh kolonial dalam hikayat tersebut. Naskah kuno yang di dalamnya banyak mengandung berbagai nilai budaya, baik tentang kepercayaan, adat-istiadat, filsafat, pendidikan, ekonomi, sosial dan politik, bahkan sejarah. Pembedahan, pengkajian, dan pengungkapan berbagai warisan nilai budaya di dalamnya diperlukan sebagai upaya mewujudkan cita-cita pembangunan bangsa. Hikayat Teungku di Meukek merupakan naskah lama yang menggambarkan perlawanan rakyat Aceh di Meulaboh terhadap hulubalang yang didukung oleh Belanda. Hikayat ini ditulis untuk melihat bagaimana perlawanan masyarakat Aceh terhadap kolonial.
Pendahuluan
Karya
sastra adalah refleksi pengarang tentang hidup dan kehidupan yang
dipadu dengan gaya imajinasi dan kreasi yang didukung pengalaman dan
pengamatannya atas kehidupan tersebut (Djojosuroto, 2006:77). Hakikat
karya sastra adalah bercerita yang merupakan bentuk dari hasil pekerjaan
seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya dengan
menggunakan bahasa sebagai mediumnya (Djojosuroto,2006:77). Di Indonesia
terlalu banyak peninggalan warisan budaya nasional yang saat ini belum
terungkapkan. Warisan budaya nasional yang tak ternilai harganya itu
masih banyak berserakan di seluruh pelosok tanah air, baik yang berada
di tangan anggota masyarakat tanpa perawatan yang berarti, maupun yang
masih terpendam tanpa diketahui di mana adanya. Salah satu di antara
warisan budaya nasional yang masih bertebaran pada sebagian anggota
masyarakat adalah naskah-naskah kuno, sebagai warisan intelektual bangsa
Indonesia.
Berbicara
tentang naskah merupakan salah satu warisan kebudayaan Indonesia yang
sangat banyak nilainya, naskah mempunyai dimensi dan makna yang sangat
luas, karena merupakan hasil tradisi yang melibatkan berbagai
keterampilan dan sikap budaya. Dalam naskah terkandung kekayaan yang
melimpah. Isi naskah tidak terbatas hanya pada kesusastraan akan tetapi
mencakup berbagai bidang lain seperti agama, sejarah, hukum adat,
obat-obatan, teknik dan lain-lain. Naskah kuno mengandung berbagai
warisan rohani, perbendaharaan pikiran dan cita-cita nenek moyang bangsa
Indonesia, adalah merupakan sumber aneka informasi ilmu pengetahuan dan
perkembangannya, di antaranya adalah Hikayat Teungku di Meukek.
Hikayat
kalau diartikan dalam bahasa Aceh adalah penyampaian secara lisan
sering dengan irama lagu yang indah agar dapat menarik perhatian para
pendengarnya. Hikayat di Aceh terdapat banyak jenis dalam ungkapan Aceh beuet-(ba-), berarti membaca Hikayat, peugah; menceritakan Hikayat, Ruhe,
Hikayat jenaka yang tidak mengisahkan sesuatu masih tertentu, tetapi
fantasi pengarang yang kadang-kadang didasarkan kepada pengalamannya
sendiri atau orang lain; neuba mangat that s., Ia Meu-,
mempunyai Hikayat. Membaca hikayat oleh orang yang mengisahkan Nadham
dan Sanjak (Sakti dan Dally,2002:7). Hikayat masih tetap eksis dalam
kehidupan masyarakat dan kebudayaan Aceh sampai sekarang sebagaimana
terlihat dalam resitasi (pembacaan hafalan) yang dilakukan, bahkan untuk
mempermudah dalam membacanya banyak hikayat yang sudah dicetak yang
disebut dengan “Litho Graphi”
dan ditransliterasi ke latin seperti melalui peredaran yang dilakukan
oleh berbagai penerbitan atau toko buku di Aceh sekarang (Seno,
2002:19).
Hikayat
ini memberi pengaruh dan merupakan salah satu sastra kitab hikayat
populer diminati masyarakat Aceh, bagi masyarakat Aceh terutama di
bidang kebudayaan yang terkandung dalam naskahnya, sehingga hampir
setiap orang Aceh, terutama tokoh-tokoh masyarakat, mengadopsi ilmu-ilmu
yang terdapat dalam naskah lama tersebut ini, terutama masalah adatnya.
Dalam naskah ini memberikan nilai penting yang harus dipelajari oleh
masyarakat Aceh sejak dulu bahkan hingga sekarang pun masih berlaku di
dalam masyarakat Aceh. Bahkan hikayat juga mengisi setiap acara waktu
senggang masyarakat Aceh sehingga daerah Aceh terkenal pula dengan
kekayaan literaturnya.
Adapun yang dimaksud dengan teungku adalah gelar tokoh-tokoh agama di Aceh, atau orang yang taat beribadah dalam masyarakat Aceh sehingga diberi gelar teungku. Sedangkan Meukek
adalah nama tempat yang terdapat di Meulaboh, Aceh Barat. Teungku di
Meukek tersebut datang ke Rundeng untuk menyebarkan agama Islam dan
menetap di daerah itu. Beliau sangat disegani oleh masyarakat sehingga
para penguasa di sekitar wilayah tersebut tidak senang. Hikayat Teungku
di Meukek ini
merupakan salah satu karya sastra lama yang dikarang oleh masyarakat
Aceh pada masa itu karena melihat persengketaan yang terjadi dan karena
melihat kejadian-kejadian konflik antara masyarakat dengan para
Hulubalang di bawah pemerintahan Belanda, Belanda menghasut para
Hulubalang untuk menyerang Teungku di Meukek. Dari hikayat di atas kita
bisa melihat bahwa ada pengaruh postkolonial yaitu adanya campur tangan
Belanda untuk menghasut para Hulubalang sehingga atas bantuan
pemerintahan Belanda, para Hulubalang menyerang daerah Rundeng tersebut.
Isi Ringkas Hikayat Teungku Di Meukek
Hikayat Teungku di Meukek diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh GWJ Drewes tahun 1980 dengan judul Two Achehnese Poems
yang diperoleh dari Drs Wamad Abdullah di Banda Aceh pada Juni 1982.
Dalam buku setebal 99 halaman ini, teks bahasa Acehnya telah disunting
dengan menyesuaikan ejaannya dengan ejaan bahasa Indonesia yang sudah
disempurnakan. Hikayat ini merupakan hikayat lama dan sudah dibicarakan
oleh Snouck Hurgronje dalam bukunya The Achehnese (Harun,
1983:7) Drewes sendiri mendapat kedua naskah ini dari perpustakaan
Leiden. Menurut Drewes, hikayat ini merupakan karya asli pengarang Aceh,
bukan terjemahan atau saduran dari karya asing, seperti hikayat Aceh
lainnya. Tidak ada catatan mengenai tahun penulisan kedua karya tersebut
(Harun, 1983:7).
Penyalin
hikayat ini ialah Panglima Nyak Amin yang mendapat naskah aslinya dari
Juhan Muda Pahlawan, yaitu putra Lila Peukasa, yaitu penguasa Meulaboh
pada masa itu. Pengarang aslinya adalah Teungku Malem, asal Trumon,
tinggal di Kampung Peunaga (Harun, 1983:7). Penyair mengabadikan
sengketa yang terjadi pada tahun 1893 dan 1894 itu, antara tokoh tokoh
penguasa Meulaboh yang bersahabat dengan Belanda, dan kelompok
perlawanan yang bermarkas utama di Rundeng dan dipimpin oleh tokoh suci
Teungku di Meukek (Hurgronje,1985:124).
Syekhuna,
demikian nama sebutan seorang ulama yang dikenal dengan panggilan
Teungku di Meukek karena perlawanannya terhadap Belanda. Ulama tersebut
memperkuat kedudukannya di Rundeng, dekat Meulaboh, sambil
menyebarluaskan ilmu agama serta mendirikan kubu-kubu pertahanan dengan
tujuan hendak melawan Belanda. Dari berbagai kampung, orang berdatangan
untuk memuliakan Teungku di Meukek dengan membawa berbagai buah tangan
sebagai hadiah. Kegiatan Teungku di Meukek memperkuat negeri Rundeng
dianggap oleh para hulubalang yang berkuasa negeri itu mengganggu
ketertiban dan keamanan. Belanda yang mengetahui hal itu segera
memanggil para hulubalang dan menghasut mereka supaya menyerang negeri
Rundeng dan melawan Teungku di Meukek, seraya membekali mereka dengan
senjata yang diperlukan. Para hulubalang menyambut baik bantuan Belanda
dan mempersenjatai anak negeri.
Di
bawah pimpinan Raja Lila Perkasa dari Meulaboh, rakyat siap menyerang
Rundeng. Begitu rakyat Rundeng dan Teungku di Meukek mendengar berita
bahwa pihak Belanda akan membantu para hulubalang, mereka semakin giat
memperbanyak benteng-benteng pertahanan dan mengatur siasat perang di
masing-masing tempat. Dengan semangat yang tinggi Teungku di Meukek
dengan khotbahnya yang berapi-api mengumumkan perang jihad melawan
Belanda dan kaki tangannya. Tanggal 6 dianggap hari baik untuk memulai
perang. Di bawah pimpinan Teuku Panglima Dalam, Teuku Haji Ben, Panglima
Nyak Yeb dan panglima lainnya, serentak rakyat Meulaboh menyerang
Rundeng. Selama beberapa hari pertempuran berlangsung, satu demi satu
kubu pertahanan Rundeng jatuh ke tangan hulubalang, antara lain Kuta
Nibong, Kuta Asan, Padang Sirahet, dan Kuta Sijaloh.
Ketika
perang sedang berlangsung di Rundeng, para pembesar Belanda di Kutaraja
memutuskan untuk mengirimkan bantuan guna membantu Raja Lila Perkasa.
Beberapa hari kemudian, tiga kapal perang Belanda berlabuh di Lhok
Meulaboh. Para serdadu didaratkan dan langsung menyerang Rundeng,
sementara meriam-meriam kapal terus menerus menembaki kubu-kubu
pertahanan kaum pejuang. Korban berjatuhan di pihak kaum muslimin.
Kemudian peperangan terhenti seketika.
Di
dalam tubuh pejuang sendiri terjadi keretakan. Orang-orang yang berasal
dari Woila dan Bubon meninggalkan Teungku di Meukek. Tanggal 27 bulan
Ramadan, Teungku di Meukek keluar dari benteng pertahanan setelah
melakukan sembahyang dan berdo’a semoga dapat mengusir musuh. Sambil
berzikir, di malam yang gelap itu Teungku di Meukek pergi dari satu
benteng ke benteng musuh yang lain. Dalam malam yang gelap gulita
disertai hujan lebat Teungku di Meukek masuk ke dalam sebuah benteng
yaitu Kuta Haji Sarong seraya menanyakan kepada seorang pengawal di mana
Haji Sarong dan Teuku Panglima Dalam berada. Sebelum sempat memberi
jawaban pedang, Teungku di Meukek sudah merengut nyawa pengawal itu.
Maka terjadilah huru-hara antara Teungku di Meukek dengan para pengawal
benteng. Setelah terjadi pertarungan singkat, mereka terpaksa melarikan
diri meninggalkan benteng yang dikuasai Teungku di Meukek.
Teuku
Panglima Dalam dan Teungku Haji Sarong yang berada di Kuta Nibong
datang mencari Teungku di Meukek setelah mendengar peristiwa yang baru
saja terjadi. Dalam keadaan berhadap-hadapan antara Teuku Panglima Dalam
dan Teungku di Meukek di kegelapan malam itu, tiba-tiba Panglima Muda
yang ikut serta dengan Teuku Panglima Dalam melepaskan tembakan. Teungku
di Meukek rubuh dan tewas. Esok harinya, mayat Teungku di Meukek
diambil oleh Belanda dan dibawa berlayar. Tidak ada orang yang
mengetahui ke mana mayat Teungku di Meukek dibawa. Dengan syahidnya
Teungku di Meukek, para hulubalang dan Belanda dapat berkuasa kembali
(Ramli Harun, 1983). Hikayat ini berakhir dengan kematian Teungku di
Meukek. Di sini nampak salah satu kekhasan orang Aceh. Sang penyair,
walau berada di pihak pemerintah Belanda, menggambarkan Teungku di
Meukek sebagai seorang sahid dan para pengikutnya sebagai wakil-wakil
agama. Tidak perduli di pihak mana seorang Aceh berada, ia selalu
menggambarkan musuh kaum kafir sebagai pendukung perjuangan yang benar
(Hurgronje,1985:124).
Untuk
mengkaji persoalan ini, maka teori yang cukup relevan digunakan adalah
teori postkolonial. Teori postkolonial adalah teori kritis yang mencoba
mengungkapkan kesadaran bahwa sudah sekian lama terjadinya perjalanan
waktu, ada masalah-masalah yang perlu dipertimbangkan, yang sebelumnya
belum disadari, akibat negatif yang ditinggalkan oleh kolonialisme
Barat. Akibat yang dimaksudkan adalah tidak lebih bersifat degradasi
mental.
Dari
kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa postkolonial ingin menggugat
praktek-praktek kolonialisme yang telah melahirkan kehidupan yang penuh
dengan propaganda peperangan dan kekerasan fisik, tetapi didialektikakan
melalui kesadaran atau gagasan. Dengan perkataan lain, postkolonial
sebagai alat atau perangkat kritik yang melihat secara “jernih”
bagaimana sendi-sendi budaya, sosial dan ekonomi digerakkan untuk
kepentingan kelas dominan atau pusat. Postkolonial mencoba membongkar
mitos-mitos yang “mengerdilkan” daya kritis dari penguasaan hegemoni
melalui gerakan budaya dan kesadaran yang subtil (Anderson,1999:8).
Dapat
dikatakan bahwa postkolonial adalah perlawanan sehari-hari, sebagaimana
yang diungkapkan oleh Ben Anderson bahwa sebentuk mode atau siasat
perlawanan massa rakyat kecil tanpa politik yang dilakukan dengan
gerakan “picisan” untuk mengkaji ulang “politik modern” identitas
adiluhung kalangan elite yang (sedang) berkuasa (Anderson, 1999:9).
Pengaruh Postkolonial Dalam Hikayat Teungku Dimeukek
Kajian
postkolonial adalah salah satu kajian akademis yang berkembang setelah
tahun 1980-an. Perkembangan ini sebagai dampak pemikiran teori kritis
dan postmodern yang mewarisi pemikiran Nietszhe seperti: Heidegger,
Derrida, Foucault, Bataille dan lainnya. Ada karakteristik yang sama dan
menjadi ciri utama teori kritis dan postmodern yaitu bahwa teori sosial
berguna untuk meningkatkan kesadaran dan wawasan yang lebih
memungkinkan perubahan lingkungan sosial budaya secara rasional dan
lebih manusiawi. Hal ini terlihat jelas pada kajian postkolonial. Oleh
karena itu, Akhyar mengemukakan bahwa teori kritis dan postmodern
berjasa besar dalam menumbuhkan kesadaran di kalangan ilmuwan bahwa
dalam praktek-klasifikasi ilmiah, pemahaman dan penelitian tidak dapat
dilepaskan dari pengaruh kepentingan, kekuasaan dan ideologi (Ahyar,
2006:199).
Menurut
Edward Said, pandangan kaum kolonialis Barat (khususnya kaum oriental)
yang merendahkan pandangan Timur (masyarakat jajahannya) sebagai
konstruksi sosial-budaya yang tidak terlepas dari kepentingan dan
kekuasaan mereka. Karena itu, pandangan dan teori yang dihasilkannya
tidaklah netral dan obyektif sebagaimana mereka duga. Said menggunakan
pemikiran Foucault dan Teori Kritis sebagai dasar teori postkolonialnya.
Said menggunakan pemikiran tokoh itu untuk membongkar narsisme dan
kekerasan epistemologi Barat terhadap Timur dengan menunjukkan bias,
kepentingan, kuasa yang terkandung dalam berbagai teori yang dikemukakan
kaum kolonialis dan orientalis (Baso, 2005:59).
Bukan
lagi rahasia umum bahwa segala sesuatu yang dipaksakan Barat pada
negara-negara dunia ketiga, termasuk Indonesia selalu bersifat
subjektif. Hikayat Teungku di Meukek merupakan salah
satu hikayat yang membahas tentang persengketaan antara masyarakat Aceh
pada masa itu terhadap Belanda. Perlawanan terhadap pemerintah kolonial
telah terjadi naratif heroik, baik di Indonesia maupun di tempat-tempat
lain, perjuangan melawan para penjajah tidak hanya menggerakkan banyak
orang, tetapi juga memberikan tujuan moral yang jelas. Mengenang
kembali revolusi dan mengklaim legitimasi, tetapi juga bisa menjadi cara
untuk mengkritik rejim sekarang karena mengkhianati cita-cita terdahulu
(Faulcher & Day, 2002:468).
Hikayat Teungku di Mekek
menyajikan suatu ulasan yang jelas tentang sejarah Aceh dan wawasan
mengenai kondisi Aceh pada saat itu bahkan mempunyai nilai sejarah
khusus. Karya ini mempunyai latar belakang sejarah yang cukup jelas
walaupun fakta-faktanya dicerminkan melalui medium imajinatif yang
seluruhnya bersesuaian dengan ciri khas Aceh. Kita dapat lihat bagaimana
Belanda menghasut Hulubalang untuk memerangi Teungku Meukek di Rundeng,
seperti kutipan dibawah ini,
Raja Beulanda atejih sosah
Jikeumeung pinah sinan Syekhuna
Jimupakat sabe keudroe-droe
Tapangge jinoe raja raja
’Oh ka tapangge dum Hulubalang
Dudoe tayue prang bakjih teuma
Meunankeu pakat di kompeuni
Ban narit jibri ka ubak raja
Nanggroe Rundeng jak leh taprang
Beulanja tuan ulon peuna
Han sep siribee dua lhee ribee
Bek kamalee kaprang lanja
Peue meusaket atra kompeuni
Jinoe kubri keu beulanja
Nyankeuh teuku cuba pike
Ubat beude ulon peuna
Artinya:
Raja Belanda hatinya susah
Dia ingin mengusir syekhuna atau Teungku di Meukek
Mereka melakukan muwafakat dengan sesamanya(Belanda)
Untuk memanggil setiap para raja atau para Hulubalang
Setelah dipanggil para Hulubalang
Kemudian kita ssuruh perang sama mereka
Begitulah muwafakat para kompeni
Begitulah khabar yang disampaikan sama raja
Negeri rundeng mari kita perang
Semua keperluan tuan akan kami sediakan
Tidak cukup siribu dua ribupun kami kasih
Jangan kalian pikirkan kita perang saja
Jangan kalian susah dengan harta kompeni
Sekarang kami berikan untuk belanja
Sekarang coba anda pikirkan
Kalau masalah senjata ada sama kami
Kutipan
di atas menjelaskan bahwa Belanda mengajak dan menghasut para
Hulubalang untuk menyerang Teungku di Meukek di Rundeng, bahkan
Belanda juga menyiapkan semua fasilitas yang diperlukan, baik uang
maupun senjata. Belanda menghasut para Hulubalang karena para Hulubalang
juga sangat membenci Teungku di Meukek karena Teungku di Meukek
adalah seorang pendatang yang datang ke daerah rundeng untuk menyebarkan
ajaran Islam, bahkan selain itu Teungku di Meukek juga telah membuat
daerah rundeng maju dan terkenal. Bahkan sebab lain para Hulubalang
membenci Teungku di Meukek karena orang wilayah-wilayah yang dekat
dengan rundeng juga banyak yang berdatangan untuk belajar pada Teungku
di Meukek terutama belajar ilmu agama.
Dalam
hikayat tersebut digambarkan bahwa Belanda sudah lama ingin menguasai
Rundeng, dan sudah pernah menjajah wilayah Rundeng tersebut dan juga
wilayah di sekitarnya, tapi tidak pernah berhasil karena orang Rundeng
tidak terpengaruh dengan kedatangan Belanda, bahkan menolak kedatangan
kolonialis ke wilayah mereka. Oleh karena itu, Belanda menghindar dan
tidak berani melawan Teungku di Meukek yang memimpin wilayah Rundeng
itu karena ia terkenal sangat kuat dan sukar ditaklukkan. Namun begitu
Belanda mengetahui bahwa para Hulubalang Meulaboh merasa sakit hati pada
Teungku di Meukek dan ingin menyerang wilayah rundeng, maka Belanda
mulai mengatur siasat yaitu menggunakan kesempatan untuk bekerja sama
dengan para Hulubalang.
Hikayat
Teungku di Meukek menunjukan adanya ketidaksesuaian antara masyarakat
Aceh yang satu wilayah dengan wilayah yang lain, sehingga munculnya
perlawanan. Dalam hikayat ini juga menggambarkan bagaimana sosok seorang
ulama dalam menyebarkan Islam di jalan Allah. Hikayat ini memberikan
gambaran perjuangan seorang dalam menghadapi penjajahan dan secara tegas
menggambarkan musuh utama itu orang Belanda yang tampil sebagai wakil
semua bahaya yang mengancam mereka dari Eropa.
Hikayat
ini juga menggambarkan kesabaran kepada kita bahwa walaupun dihina dan
dicemoohkan oleh para Hulubalang dan Belanda, tetapi Teungku di Meukek
tetap menjalankan tugasnya sebagai ulama. Bahkan Teungku di Meukek dalam
peperangan melawan Belanda dan Hulubalang dibantu oleh para ulama serta
warga Rundeng dan sekitarnya. Hal ini menunjukkan adanya semangat yang
luar biasa pada masyarakat dalam membantu Teungku di Meukek untuk
melawan para Hulubalang dan penjajah. Hikayat ini menampilkan ideologi
bahwa bagaimana seruan dalam menyongsong ke arah perbaikan, melawan
penjajahan, dan mempertahankan wilayahnya dari tangan penjajahan.
Hikayat ini menunjukkan bahwa masyarakat melakukan perjuangan sosial
dalam praktek politik nyata, dan berhasil menunjukkan adanya permainan
kuasa dan pengetahuan dalam berbagai teori yang di kemukakan kaum
kolonialis atau orientalis.
Dalam
Hikayat ini diberikan paparan yang cemerlang, tentang bagaimana sikap
para penjajah terhadap masyarakat Aceh, dan juga menunjukkan bagaimana
respon masyarakat Aceh yang tertindas, sehingga munculnya dorongan untuk
melawan para penjajahan, dan adanya semangat dalam melakukan perjuangan
dalam bekerja sama untuk melawan penjajah tersebut. Begitu juga
nilai-nilai yang terdapat dalam Hikayat, sebagian dari nilai-nilai
tersebut mengajarkan hal yang serupa tentang semangat untuk bertahan
hidup. Ciri khas lain yang ada dalam hikayat adalah adanya motif yang
menggerakkan cerita.
Kesimpulan
Hikayat
Teungku di Meukek merupakan salah satu karya sastra lama yang ditulis
dalam bahasa Aceh oleh masyarakat Aceh dulu. Hikayat ini menggambarkan
tentang perlawanan rakyat Aceh terhadap pemerintahan kolonial yang
menghasut para Hulubalang. Hikayat ini menunjukkan adanya perjuangan
sosial dalam praktek politik nyata dan berhasil menunjukkan adanya
permainan kuasa dan pengetahuan dalam berbagai teori yang dikemukakan
kaum kolonialis atau orientalis. Naskah ini ingin menggugat
praktek-praktek kolonialisme yang telah melahirkan kehidupan yang penuh
dengan propaganda peperangan dan kekerasan fisik, tetapi didialektikakan
melalui kesadaran atau gagasan. Teori postkolonialisme dianggap dapat
memberikan pemahaman terhadap masing-masing pribadi agar selalu
mengutamakan kepentingan bangsa di atas golongan, kepentingan golongan
di atas kepentingan pribadi.
Referensi:
Ahmad Baso, 2005. Islam Pasca-Kolonial: Perselingkuhan Agama, Kolonialisme dan Liberalisme. Bandung: Mizan Pustaka.
Akhyar Yusuf Lubis, 2006. Dekonstruksi Epistemologi Modern. Jakarta: Pustaka Indonesia Satu.
Benedict Anderson, 1999. Komunitas Imajiner: Renungan Tentang Asal-Usul dan Penyebaran Nasionalisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar- Insist.
Faulcher & Tony Day, 2006. Clearing A Space, Kritik Pasca Kolonial Tentang sastra Indonesia Modern. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Kinayati Djojosuroto, 2006. Analisis Teks Sastra dan pengajarannya. Yogyakarta: Pustaka.
Ramli A. Dally dan Teuku Abdullah Sakti, 2002. Hikayat Akhbarul Karim, Transliterasi dan Terjemahan. Banda Aceh: Dinas Kebudayaan Provinsi NAD.
Ramli Harun, 1983. Hikayat Ranto Ngon Hikayat Teungku di Meukek. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Seno, 2002. Mitos dan Fakta “Hikayat Raja-raja Pasai (Kisah Tentang Pelanggaran Hukum yang Menyebabkan Kehancuran)”, dalam Buletin Haba, Edisi 24, Banda Aceh: Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Aceh.
Snouck Hurgronje, 1985. Aceh di Mata Kolonialis. Jilid II. Jakarta: Yayasan Soko Guru.
__________
Istiqamatunnisak, Mahasiswa Pascasarjana Jurusan Sastra Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Bagikan
Share