Harta bukan suatu tujuan hidup. Bukan suatu sebab untuk mencapai kebahagiaan. Kalau seseorang menempatkan harta sebagai tujuan hidup dan menganggap segalagalanya, maka ia akan sering mendapatkan kesulitan daripada kedamaian hati. Tujuan hidup adalah melaksanakan suatu kewajiban-kewajiban. Adapun harta benda yang kita miliki merupakan sarana untuk mendukung pelaksanaan kewajiban-kewajiban itu. Kita beribadah perlu harta. Orang tak akan bisa membangun masjid, menyantuni yatim piatu, berzakat dan bersedekah dan berangkat haji tanpa didukung oleh sarana harta benda.
Kadang-kadang orang jadi tergila-gila oleh harta benda. Ia membanting tulang dan memeras keringat, tak kenal siang atau malam, tak kenal kawan atau lawan asal tujuannya tercapai. Kalau harta sudah didapat, ia ingin lebih banyak lagi dan ingin terus bertambah.
Kesibukannya memburu harta membuat dirinya lupa terhadap kewajiban. Ibadahnya jadi malas. Bahkan hatinya jadi kikir. Harta yang terkumpul sangat dicintainya sehingga enggan mengeluarkan sedekah atau berzakat. Orang-orang yang demikian ini justru jadi budak hartanya sendiri.
Sangatlah beruntung orang kaya yang mampu mengendalikan harta kekayaannya. Dimanfaatkan untuk jalan kebaikan, gemar bersedekah, berzakat, menunaikan ibadah haji, infak, menyantuni yatim piatu dan sebagainya. Semakin banyak hartanya semakin sering pula ia bersyukur pada Allah. Ibadahnya pun jadi lebih tekun. Orang-orang yang demikian ini sadar kalau harta yang didapatkan semata-mata karena kemurahan Allah sehingga dimanfaatkan sebagaimana mestinya.
Dalam kitabnya, Al Maal Fil Islam, DR Muhammad Mahmud Bably berpendapat, harta tercela menurut Islam yaitu harta yang dijadikan obyek tujuan, dan bagi pemilik harta menjadikan harta itu sebagai perlindungan terhadap harta yang ditimbunnya atau yang disembunyikannya. Kemudian menahan terhadap orang lain dan pemanfaatan harta yang seharusnya beredar dari tangan yang satu ke tangan lainnya. Sehingga akan timbul sifat kikir atau memejamkan mata. Sebagaimana pula agama Islam melarang sifat yang berlebih-lebihan dan sifat mubadzir, dan Islam mengajak kepada sifat cukup atau seimbang dalam segala hal. Allah berfirman, “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta) mereka tidak berlebih-lebihan dan tidak (pula) kikir tetapi (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.’’
Oleh sebab itu untuk mendapatkan rezeki yang halal, harta yang berkah dan terus bertambah maka mulai sekarang kita harus berhati-hati dalam berikhtiar. Mencari, nafkah atau rezeki itu gampang-gampang susah. Kadang-kadang seseorang sudah berhati-hati, namun suatu ketika ia lengah sehingga memungut harta yang tidak halal, atau cara mencarinya melanggar syariat Islam.
Sesungguhnya harta yang baik adalah jika diperoleh dari cara yang halal dan dimanfaatkan menurut tempatnya. Sebuah hadis riwayat lbnu Umara ra. dijelaskan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda, “Dunia itu bagaikan tumbuh tumbuhan yang menarik. Barangsiapa yang mencari harta dunia dari harta yang halal, kemudian dibelanjakan sesuai dengan haknya, maka Allah Taala akan memberi pahala dan akan dimasukkan ke surga. Dan barangsiapa yang mencari harta dunia, bukan dari harta yang halal dan dibelanjakan bukan pada haknya, maka Allah akan menempatkan ke dalam tempat yang hina. Dan banyak orang yang ambisi dalam mencari di jalan Allah dan Rasulnya yang masuk ke dalam api neraka pada hari kiamat.”
Harta itu pada hakikatnya halal. Namun bisa saja berubah menjadi tercela dan mencelakakan pemiliknya. Sebab jika seseorang mencarinya dengan cara yang tidak halal, maka kedudukan harta itu menjadi haram. Apabila harta haram itu dimakan maka sari-sari makanan akan bercampur menjadi darah. Kalau sudah bercampur dengan darah dan setiap saat mengalir ke sekujur tubuh, maka sulitlah seseorang untuk mensucikan sesuatu yang haram itu. Pada akhirnya kelak di akhirat akan menjadi siksaan baginya. Perlulah disadari bahwa sesungguhnya harta itu pada dasarnya merupakan sarana dan ladang bagi kehidupan akhirat. Barangsiapa yang mendapatkannya dengan cara halal, lalu dimanfaatkan untuk kebaikan, misalnya menafkahi keluarga, sebagian disisihkan untuk fi sabilillah, maka harta akan menjadi sangat bermanfaat. Kelak akan menjadi penolong di akhirat. tags: sejarah islam dan nabi.
Sumber : http://www.freetaskatcampuss.co.cc/2010/06/harta-dalam-pandangan-islam.html
Konsep Harta dan Ekonomi dalam Islam
Islam mempunyai pandangan yang jelas mengenai harta dan kegiatan ekonomi. Pandangan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.
1. Pemilik mutlak terhadap sesuatu yang ada di muka bumi ini, termasuk harta benda, adalah Allah. Kepemilikan oleh manusia hanya bersifat relative, sebatas untuk melaksanakan amanah mengelola dan memanfaatkan seuai dengan ketentuanNya.
“berimanlah kamu kepada Allah dan RosulNya dan nafkahkanlah sebagian dari harta kamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) hartanya mendapatkan pahala yang bear.” (al-Hadid : 70)
“… dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepada kalian…” (an-Nuur : 33)
Rosulullah saw bersabda,
“seseorang pada hari akhir nanti pasti akan ditanyakan tentang empat hal:usianya untuk apa dihabiskan, jasmaninya untuk apa dipergunakan, hartanya dari mana didapatkan dan untuk apa dipergunakan dan ilmunya untuk apa dia pergunakan.” (HR Abu Dawud)
2. Status harta yang dimiliki manusia adalah sebagai berikut.
a. Harta sebagai amanah (titipan) dari Allah.
Manusia hanyalah pemegang amanah karena ia tidak mampu mengadakan benda dari tiada. Dalam bahasa Eintein, manusia tidak mampu menciptakan energy. Yang mampu manusia lakukan adalah mengubah satu energy ke bentuk energilain. Pencipta awal dari segala energy yaitu Allah.
b. Harta sebagai perhiasan hidup.
Manusia memiliki kecenderungan yang kuat untuk memiliki, menguasai, dan menikmati harta.
“dijadikan indah pada pandangan manusia kecintaan pada apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah adang. Itulah kesenangan hidup didunia dan disisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).”
Sebagai perhiasan hidup, harta sering menyebabkan keangkuhan, kesombongan, serta kebanggan diri.
“ketahuilah, sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas karena dia melihat dirinya serba cukup.” (al-‘Alaq : 6-7)
c. Harta sebagai ujian keimanan. Hal ini terutama menyangkut soal cara mendapatkan dan memanfaatkannya, apakah sesuai dengan ajaran Islam ataukah tidak.
“dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah pahala yang besar.” (al-Anfaal : 28)
d. Harta sebagai bekal ibadah. Harta adalah untuk melaksanakan perintahNya dan melaksanakan muammalah sesame manusia, melalui kegiatan zakat, infak, dan sedekah.
“berangkatlah kamu dalam keadaan merasa ringan ataupun meraas berat dan berjihadlah dengan harta dan dirimu dijalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (at-Taubah : 41)
3. Pemilikan harta dapat dilakukan antara lain melalui usaha atau mata pencaharian yang halal dan sesuai dengan aturanNya. Banyak ayat al-Qur’an dan hadits nabi yang mendorong umat Islam bekerja mencari nafkah secara halal.
“dialah yang menjadikan bumi mudah bagi kamu, maka berjalanlah di muka bumi ini dan makanlah sebagian dari rezekiNya.” (al-Mulk : 13)
“hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah dijalan Allah sebagian daria usahamu yang baik…” (al-Baqarah : 267)
Dikemukakan juga dalam hadits nabi, antara lain,
“sesungguhnya Allah mencintai hambaNya yang bekerja. Barangsiapa yang bekerja keras mencari nafkah yang halah untuk keluarganya, maka sama seperti mujahid dijalan Allah.” (HR Ahmad)
“mencari rezeki yang halal adalah wajib setelah kewajiban yang lain.” (HR Thabrani)
4. Dilarang mencari harta, berusaha atau bekerja yang dapat melupakan kematian, melupakan zikrullah (tidak ingat kepada Allah dengan segala ketentuannya), melupakan shalat dan zakat, serta memusatkan kekayaan hanya pada sekeolompok orang kaya saja.
“bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur.” (at-Takasur : 1-2)
“hai orang-orang yang beriman janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang merugi.” (al-Munafiquun : 9)
5. Dilarang menempuh usaha yang haram, seperti melalui kegiatan riba, perjudian, dan berjual beli barang yang dilarang atau haram.
“hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya minuman khamar, judi, berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan syetan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamumendapat keberuntungan. Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian diantara kamu lantaran meminum khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat;maka berhentilah kamu dari mengerjakan pekerjaan itu.” (al-Maidah : 90-91)Jenis kegiatan lain yang dilarang antara lain, mencuri, merampok, penggasaban, curang dalam takaran dan timbangan atau melalui cara-cara yang batil dan merugikan serta suap menyuap.
Sumber : http://www.kaesyar.co.ccBagikan
0 comments:
Posting Komentar
Sedikit Komentar Anda, sangat berarti untuk memajukan blog ini.. terimakasih sobat