Hikmah dibalik perintah Shalat

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiHY1GES5XbMqLTLQrz8mADswx7UQNOWKCFExlqoLgexKipD7DzHu9olS7T7uYeOfbxD4dnq1Rma3MeTaFfHz3BZnZjBHX5n2o-7RND4uOEtsqD91PL80lDcQyBh1nCHRCyB274o128DZVN/s1600/sholat.jpg
Sesungguhnya hikmah di balik perintah shalat, demikian pula hikmah di balik larangan meninggalkannya banyak sekali. Di antara hikmah di balik perintah shalat yaitu:

1. Shalat merupakan Rukun Islam Teragung setelah Dua Kalimat Syahadat (Syahadatain)
Dalam sebuah hadits, Nabi shallallahu ‘alihi wasallam bersabda,
"Islam dibangun di atas lima hal; Persaksian bahwa tiada Tuhan -yang haq disembah- selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah; Mendirikan Shalat; Membayar zakat; Mengerjakan haji ke Baitullah dan berpuasa Ramadhan.” (Muttafaqun 'alaih)

Dari Abu Sa'id al-Khudry radhiyallahu ‘anhu bahwasanya tatkala Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam membagi-bagikan harta rampasan perang, ada seorang laki-laki berkata kepada beliau, "Wahai Rasulullah, bertaqwalah engkau kepada Allah." Lalu beliau menjawab, "Celakalah engkau, bukankah aku adalah penduduk bumi yang paling berhak untuk bertakwa kepada Allah.?" Maka, Khalid bin al-Walid zpun berkata, "Biar aku penggal saja lehernya, wahai Rasulullah!" Beliau menjawab, "Tidak, semoga saja ia kelak melaksanakan shalat." (Muttafaqun 'alaih)

2. Shalat merupakan Induk Semua Ibadah

Seorang hamba diperintahkan agar meresapi dan khusyu’ dalam shalatnya baik secara lahiriah maupun batin dan membuat hati, lisan dan seluruh anggota badannya larut di dalamnya. Hal ini sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala, "Dan berdirilah karena Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu'." (al-Baqarah:238)

Nabi shallallahu ‘alihi wasallam bersabda, "Sesungguhnya di dalam shalat itu terdapat kesibukan." (Muttafaqun 'alaih)

Artinya, seorang yang sedang melakukan shalat dilarang makan, minum, menoleh dan banyak bergerak. Ini tentunya berbeda dengan ibadah-ibadah lain selain shalat yang hanya diwajibkan atas sebagian anggota badan saja. Orang yang berpuasa misalnya, masih boleh untuk berbicara, seorang mujahid masih boleh menoleh-noleh dan berbicara, seorang yang melakukan haji masih boleh makan dan minum namun shalat tidak demikian. Di dalamnya terdapat berbagai jenis bentuk ibadah yang lengkap; ibadah hati, akal, badan dan lisan. Ibadah lisan tercermin pada ucapan syahadatain, takbir, ta'awwudz, basmalah, bacaan al-Qur'an, tasbih, tahmid, istighfar dan doa-doa. Ibadah anggota badan terefleksi pada aktivitas berdiri, ruku', sujud, i'tidal (bangun dari ruku'), turun untuk sujud, mengangkat tangan dan duduk. Ibadah akal terefleksi pada aktivitas berfikir, merenungi (tadabbur) dan memahami. Sedangkan ibadah hati terefleksi pada kekhusyu'an, rasa takut, rasa ingin mendapat pahala, kenikmatan, ketundukan dan tangis (karena rasa takut kepada Allah subhanahu wata’ala).

3. Shalat adalah Kembaran Semua Kewajiban Dan Rukun-Rukun

Shalat merupakan ibadah yang paling banyak disebut di dalam al-Qur'an. Terkadang disebut secara khusus (tersendiri), seperti firman-Nya, artinya,
"Dan dirikanlah shalat itu pada kedua tepi siang (pagi dan sore) dan pada bahagian permulaan malam." (Hûd:114)

Terkadang disebut berurutan dengan sabar, seperti firman-Nya, artinya,
"Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat." (al-Baqarah:153). Terkadang disebut berurutan dengan zakat seperti firman-Nya, "Dan dirikanlah shalat serta bayarlah zakat.", dan banyak lagi contoh lainnya.

Dari 'Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam bersabda,
"Tiga hal yang aku bersumpah atasnya, (agar) Allah tidak menjadikan siapa saja yang memiliki bagian (saham) dalam Islam, sama seperti orang yang tidak memilikinya. Dan saham-saham Islam itu ada tiga: shalat, puasa dan zakat." (Hadits Shahih)

Allah subhanahu wata’ala tidak menyebutkan shalat yang digandengkan dengan kewajiban-kewajiban lainnya melainkan Dia mendahulukan shalat atas selainnya. Misalnya, shalat disebutkan di dalam pembukaan amal-amal kebajikan dan penutupnya sebagaimana dapat kita lihat pada awal surat al-Mu'minun dan al-Ma'arij.

4. Shalat merupakan Wasiat Terakhir Rasulullah SAW
Dalam detik-detik terakhir keberadaannya di alam fana' ini dan di saat-saat menghadapi sakaratul maut, Rasulullah hanya berwasiat tentang shalat dan masalah budak saja. Hal ini sebagaimana dalam hadits shahih yang diriwayatkan dari 'Ali radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, "Adalah kata terakhir Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam, 'Dirikanlah Shalat, Dirikanlah shalat. Takutlah kamu kepada Allah terhadap para budak kamu."

5. Shalat merupakan Cermin Amalan Seorang Muslim dan Ukuran Keimanan Seorang Mukmin
Shalat merupakan neraca yang melaluinya manusia mengukur seluruh amalannya; apakah bertambah atau berkurang sebagaimana halnya alat periksa yang digunakan seorang dokter untuk memonitor tekanan darah pasiennya.

Dari Anas radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi shallallahu ‘alihi wasallam bersabda,
"Hal pertama yang akan dihisab (diperhitungkan) terhadap seorang hamba pada hari Kiamat kelak adalah shalat; bila ia baik (layak) maka akan baiklah seluruh amalannya dan bila ia rusak, maka akan rusaklah seluruh amalannya."

Sebelum penilaian sisi keunggulan dilakukan terhadap hal-hal lain seperti dalam keilmuan dan kecerdasan, maka hal paling pertama yang dijadikan tolok ukur keunggulan antar sesama manusia adalah kondisi shalatnya. Inilah tolok ukur yang benar dan dengannya seseorang dinilai tingkat keberagamaan dan kedudukannya dalam Islam.

Sesungguhnya setiap orang yang menganggap ringan dan meremehkan shalat, maka pasti ia juga menganggap ringan dan meremehkan dien al-Islam, sebab ukuran seseorang dalam Islam itu disesuaikan dengan ukuran dari shalatnya. Bila anda ingin mengetahui kadar keinginan anda terhadap Islam, maka periksalah keinginan shalat anda sebab kadar keislaman di hati anda adalah seukuran kadar shalat yang ada di dalamnya. Bila anda ingin mengukur keimanan seorang hamba, maka lihatlah seberapa besar ia mengagungkan shalat.

Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam bersabda dalam sebuah hadits Hasan,
"Siapa saja yang ingin mengetahui apa yang didapatkannya di sisi Allah, maka hendaklah ia melihat seberapa besar (kewajiban) terhadap Allah mendapat perhatiannya."

Al-Hasan al-Bashri berkata, "Wahai Anak Adam, apa lagi yang kau banggakan dari agamamu bila shalat telah kau remehkan."

6. Shalat merupakan Keterbebasan dari Neraka dan Kemunafikan

Dalam hal ini, Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam bersabda,
"Barangsiapa yang mendirikan shalat sebanyak 40 hari secara berjama'ah, ia (selalu) mendapatkan takbir pertama, niscaya akan dicatat baginya dua keterbebasan: keterbebasan dari api neraka dan keterbebasan dari kemunafikan." (Hadits Hasan)

7. Shalat merupakan Cahaya
Shalat merupakan cahaya yang menghilangkan tindakan aniaya dan kebatilan. Ia memancarkan cahaya, menjadikan elok dan kecemerlangan bagi pelakunya -sebagaimana yang dapat dirasakan sendiri oleh kita- serta menyinari kuburan pelakunya. Hal ini sebagaimana yang dikatakan Abu ad-Dardâ' radhiyallahu ‘anhu, "Shalatlah kamu dua raka'at di kegelapan malam untuk (menyinari) kegelapan kuburanmu." Demikian juga, ia akan berkelap-kelip kelak di hari Kiamat yang memancar dari jidat pelakunya. Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam bersabda, "Shalat itu adalah nur (cahaya)." (HR.Muslim)

Dalam sabdanya yang lain, ”Shalat itu adalah bukti (Hujjah)." Yakni bukti bagi keimanan pelakunya.

8. Shalat merupakan Anugrah Rabbani
Shalat memiliki keistimewaan tak terhingga atas ibadah wajib lainnya, sebab Allah subhanahu wata’ala sendiri yang telah mewajibkannya karena mengagungkan kedudukannya. Lalu, Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam sendiri pula yang langsung menerima perintah tersebut dari Allah subhanahu wata’ala tanpa perantara, yakni pada malam Isra'. Karena itu, ia adalah anugrah Rabbani yang dianugrahkan-Nya kepada Nabi dan kekasih-Nya, Muhammad shallallahu ‘alihi wasallam pada malam yang begitu agung sebagai bentuk imbalan kepada beliau atas ibadahnya yang tulus kepada Rabbnya.

Referensi: “Ash-Shalâh, Limadza?”[i/] Muhammad bin Ahmad al-Miqdam, Dâr Thayyibah, Mekkah al-Mukarramah, Cet.II, 1415 H. (Abu Hafshoh)
Bagikan

0 comments:

Posting Komentar

Sedikit Komentar Anda, sangat berarti untuk memajukan blog ini.. terimakasih sobat